Apa Itu Brand Voice? Fungsi, Contoh, dan 5 Tips Membangun Suara Brand yang Konsisten
Pernah nggak kamu merasa sedang diajak ngobrol oleh sebuah brand?
Misalnya saat kamu membaca caption Instagram dari Duolingo:
“Sudah 3 hari kamu nggak belajar bahasa Spanyol. Kami khawatir. Tapi kami juga kecewa.”
Nada kalimat itu terasa seperti sindiran dari teman dekat yang cerewet tapi lucu. Tanpa melihat siapa yang memposting, kamu tahu: itu pasti Duolingo.
Atau saat kamu menerima email dari Apple yang hanya berisi satu kalimat:
“Satu kata. Tiga kamera. Nggak ada kompromi.”
Tanpa logo pun, kamu langsung mengenali suaranya.
Ini bukan sekadar copywriting canggih—ini adalah brand voice. Suara yang tidak berbicara lewat nada, tapi lewat kata-kata. Tidak didengar, tapi terasa. Suara inilah yang membuat brand bisa dikenali dari jauh, bahkan dalam diam.
Baca juga : Kenapa Beriklan di Airport dan Ruang Publik Itu Menguntungkan untuk Brand Anda?
Apa Itu Brand Voice?
Brand voice adalah gaya bicara unik yang digunakan sebuah brand untuk berkomunikasi dengan audiensnya. Ia melekat dalam setiap teks, iklan, email, cuitan, bahkan respons di kolom komentar. Brand voice bukan soal “apa yang dikatakan”, tapi lebih dalam: bagaimana cara mengatakannya.
Ibarat karakter dalam film, brand voice adalah peran yang dimainkan oleh brand. Apakah ia seperti mentor yang bijak, sahabat yang jenaka, atau profesional yang tenang?
Brand voice adalah ekspresi dari kepribadian merek. Ia adalah napas yang menjadikan brand hidup. Brand tanpa voice akan terdengar generik. Kering. Tak punya ciri khas.
Mengapa Brand Voice Itu Penting?
Di era digital saat ini, kita hidup di tengah kebisingan konten. Setiap hari, audiens melihat ratusan—bahkan ribuan—pesan dari berbagai brand. Di sinilah brand voice memainkan peran vital: menjadi pembeda, pembentuk hubungan, dan penarik perhatian.
Bayangkan kamu sedang mencari skincare. Dua brand menawarkan produk serupa. Yang satu menulis,
“Diformulasikan secara dermatologis untuk kulit sensitif.”
Yang satu lagi berkata,
“Kulit kamu nggak rewel? Kami juga nggak.”
Kamu mungkin akan memilih yang kedua, bukan karena lebih baik, tapi karena terasa lebih nyambung. Lebih manusiawi. Lebih personal. Itulah kekuatan brand voice: membangun kedekatan emosional tanpa harus bertatap muka.
Contoh Brand Voice yang Unik dan Mengakar
Agar lebih terasa nyata, mari kita masuk ke dunia para brand besar yang telah berhasil menghidupkan voice mereka. Setiap brand di bawah ini tidak hanya berbicara—mereka menghidupkan karakter.
1. Starbucks – Ramah dan Personal
Starbucks ingin membuat setiap pelanggannya merasa “dikenal”. Tidak sekadar datang beli kopi, tapi disambut. Setiap pesan mereka terasa hangat dan mengajak.
Ketika mereka menulis, “Secangkir kehangatan untuk pagi sibukmu,” rasanya seperti teman yang tahu kamu butuh jeda. Bukan promosi. Tapi perhatian.
Voice-nya konsisten di semua kanal—bahkan saat kamu membaca tulisan di gelas kopi mereka.
2. Tiffany & Co. – Lembut dan Elegan
Tiffany tidak perlu bicara panjang. Kadang, mereka hanya menulis satu kalimat dalam kampanyenya:
“Legendary style, since 1837.”
Satu kalimat, tapi sarat makna.
Brand ini berbicara dengan cara yang halus, mewah, dan berkelas. Ia tidak berteriak untuk didengar—ia berbisik dan tetap diperhatikan.
3. Dove – Empatik dan Mendukung
Dove tidak menjual sabun, ia menjual penerimaan diri. Mereka menggunakan suara yang selalu mendukung, positif, dan meyakinkan bahwa semua perempuan cantik, terlepas dari bentuk tubuh atau warna kulit.
Dalam setiap kampanyenya, Dove terdengar seperti sahabat yang peduli, bukan brand yang mencoba menjual.
Kalimat seperti: “Karena kamu berharga, persis seperti kamu sekarang,” terasa menyentuh. Bukan karena dramatis, tapi karena jujur dan tulus.
4. Spotify – Cerdas dan Pop Culture Banget
Spotify selalu tahu cara bicara dengan gaya yang kekinian dan relate.
Kalimat seperti:
“Untuk kamu yang bilang ‘aku fine’, tapi dengerin sad song dari pagi.”
Langsung mengena. Lucu, tapi juga menggambarkan perasaan banyak orang.
Spotify adalah teman kamu yang suka nyindir, tapi tahu persis playlist yang kamu butuhkan.
5. Nike – Kuat dan Inspiratif
Nike berbicara seperti pelatih pribadi yang percaya pada potensimu—bahkan saat kamu sendiri belum percaya.
Kalimat seperti:
“Don’t just dream it. Chase it.”
atau
“There is no finish line.”
membakar semangat. Suaranya tegas, kuat, dan penuh dorongan. Nike tidak sekadar menjual sepatu. Ia menjual semangat juang.
6. Duolingo – Lucu, Nyeleneh, dan Berani
Duolingo adalah brand yang menjadikan burung hijau sebagai troll master. Suara mereka nyeleneh, sering sarkastik, dan penuh meme.
Tweet mereka bisa berbunyi:
“Kamu sudah 4 hari tidak belajar bahasa. Kami tidak marah. Hanya kecewa.”
Itu lucu, tapi juga mengingatkan. Audiens merasa seperti diingatkan teman cerewet yang peduli. Dan mereka suka itu.
7. Apple – Minimalis dan Premium
Apple tidak suka banyak bicara. Satu kalimat bisa menyampaikan semuanya.
“Think different.”
atau
“Shot on iPhone.”
Suaranya singkat, tapi terasa mahal. Apple percaya pada kesederhanaan yang penuh kekuatan. Tak banyak kata, tapi setiap kata diukur dan dipilih dengan presisi.
5 Tips Membangun Brand Voice (Dengan Narasi Penuh Makna)
Membangun brand voice itu seperti membentuk karakter seseorang. Ia tidak lahir dalam sehari, tapi dibangun dengan pemahaman yang dalam—tentang siapa kamu, untuk siapa kamu berbicara, dan bagaimana kamu ingin dikenang.
Berikut adalah lima langkah kunci yang tidak hanya strategis, tapi juga penuh makna dan nuansa. Setiap langkah akan membantumu mendekat pada “suara” yang seharusnya dimiliki brand-mu.
1. Kenali Misi, Nilai, dan Tujuan Brand
Sebelum bicara, kamu harus tahu siapa kamu. Ini adalah langkah pertama dan paling mendasar.
Coba duduk sejenak, buka lembar kosong, dan tanyakan ini ke dirimu (atau timmu):
- Kenapa brand ini didirikan?
- Masalah apa yang ingin kami selesaikan?
- Nilai apa yang selalu ingin kami jaga, bahkan saat tren berubah?
Misalnya, kalau brand kamu berdiri karena ingin membantu perempuan merasa percaya diri tanpa perlu jadi “sempurna”, maka suaramu haruslah suportif, hangat, dan membangun.
Contohnya seperti Dove, yang sejak awal memosisikan dirinya bukan sebagai “produk kecantikan”, tapi teman yang mendukung kepercayaan diri wanita.
Misi dan nilai ini akan menjadi fondasi dari semua keputusan gaya komunikasi ke depan.
Kalau kamu tidak tahu apa yang kamu perjuangkan, kamu akan mudah terdistraksi oleh tren dan suara orang lain.
2. Tentukan Kata Kunci yang Mewakili Brand
Bayangkan kamu sedang mengenalkan brand-mu sebagai seseorang. Kamu hanya boleh menggunakan 3–5 kata sifat. Apa yang akan kamu pilih?
Misalnya:
- Ramah
- Edukatif
- Optimis
- Lugas
- Kreatif
Kata-kata inilah yang akan jadi kompas komunikasi. Kalau kamu memilih “ramah”, maka kamu tidak akan menulis email dengan kalimat robotik dan terlalu formal. Kalau kamu memilih “lugas”, maka kamu akan menghindari kalimat bertele-tele dan jargon teknis.
Spotify, misalnya, selalu konsisten memilih kata-kata yang “cerdas, jenaka, dan penuh referensi budaya pop.” Mereka tahu siapa mereka, dan mereka tidak mencoba jadi siapa-siapa selain itu.
Tulis kata-kata kunci ini besar-besar di dinding tim kontenmu. Biarkan ia jadi peta dalam setiap campaign.
Baca juga : Apa Itu 360 Marketing? Strategi Promosi Efektif dari Online ke Offline
3. Pahami Audiens dan Buat Buyer Persona
Kamu tidak sedang bicara ke semua orang. Kamu sedang bicara ke satu orang ideal yang benar-benar butuh brand-mu.
Kenali dia. Bukan hanya usianya, tapi juga:
- Apa kekhawatirannya?
- Apa impiannya?
- Bahasa seperti apa yang membuatnya merasa dimengerti?
Kalau audiensmu adalah ibu muda yang multitasking dari rumah, maka suara brand-mu harus empatik, simpel, dan membantu. Tapi kalau audiensmu adalah anak muda urban yang aktif di media sosial, kamu bisa lebih berani, segar, dan kadang sedikit nakal seperti Duolingo.
Buatlah persona: beri dia nama, usia, rutinitas, hobi, bahkan kalimat yang sering ia ucapkan. Dengan begitu, setiap kali kamu membuat konten, kamu tahu: “Aku sedang bicara ke Rina, 29 tahun, ibu 1 anak, yang suka belanja online sambil nonton drakor.”
Semakin kamu mengenal audiens, semakin mudah kamu menulis seperti sedang ngobrol, bukan jualan.
4. Tentukan Tone yang Sesuai dengan Kepribadian Brand
Tone adalah emosi di balik kata-kata. Apakah kamu ingin terdengar hangat, tegas, menghibur, atau profesional?
Misalnya kamu sudah memilih brand voice yang “supportive” dan “empatik.” Tapi itu saja belum cukup. Kamu perlu tahu:
- Apakah kamu terdengar seperti mentor yang bijak?
- Atau sahabat yang setia mendengarkan?
- Atau pelatih yang menyemangati dengan keras?
Bayangkan ada pelanggan yang komplain di media sosial. Brand seperti Nike akan menanggapi dengan nada penuh semangat dan motivasi. Tapi KIN akan merespons dengan kalimat tenang dan reflektif.
Dua-duanya benar. Karena mereka konsisten dengan karakter mereka.
Tone bisa berubah tergantung konteks (marah, lucu, formal), tapi voice-nya tetap sama.
Saat kamu tahu tone-mu, kamu bisa mengatur emosi pesan dengan tepat—dan tetap terdengar seperti dirimu sendiri.
5. Pelajari Kompetitor dan Buat Brand Voice yang Unik
Jangan malu belajar dari brand lain—tapi jangan berhenti di sana.
Perhatikan kompetitor:
- Bagaimana cara mereka menulis?
- Apa tone mereka saat menjawab komentar negatif?
- Apakah mereka berfokus pada edukasi, humor, atau storytelling?
Setelah itu, lihat apa yang belum dilakukan. Atau apa yang bisa kamu lakukan dengan cara yang lebih relevan bagi audiensmu.
Misalnya, di industri skincare, banyak brand terdengar seperti ahli kimia: terlalu teknis, penuh istilah sains. Lalu muncul brand seperti The Ordinary, yang menjelaskan sains dengan cara yang jujur dan simpel. Suaranya langsung mencuri perhatian karena berbeda tapi tetap informatif.
Bukan hanya soal menjadi beda, tapi soal menjadi autentik dan menyentuh audiens dengan cara yang tak terlupakan.
Baca juga : Apa Itu Brand Recognition? Ini Cara Membangun dan Menguatkan Citra Brand Anda!
Pertanyaan Umum Seputar Brand Voice
Q: Apa itu brand tone of voice?
A: Tone adalah ekspresi dari voice. Sama-sama “ramah”, tapi bisa jadi satu brand lebih formal, lainnya lebih nyantai.Q: Apa gunanya brand voice dalam copywriting?
A: Agar semua konten terdengar dari “suara” yang sama, meskipun ditulis oleh orang yang berbeda.Q: Apa itu 3C dalam brand voice?
A: Clarity (jelas), Consistency (konsisten), dan Character (berkarakter kuat).Saatnya Suaramu Didengar (Dan Dikenang)
Brand voice bukan hanya strategi. Ia adalah jembatan emosional antara brand dan manusia. Ia membuat audiens merasa: “Brand ini ngerti aku.” Dan ketika itu terjadi, bukan hanya produkmu yang dibeli—tapi kepercayaanmu yang diterima.
Jangan sekadar berbicara. Biarkan brand-mu benar-benar terdengar dan menyentuh.
Jika kamu butuh bantuan membuat brand voice guide, persona, atau sample copywriting yang sesuai dengan suara brand kamu, klik banner di bawah dan konsultasikan brand kamu sekarang, GRATIS!